Klaster berbasis industri pertanian dan oleochemical di Sei Mangke, Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, akan dimulai 2011 mendatang. Masih banyak tahapan yang harus dilalui mewujudkan pembangunan megaproyek itu, termasuk mempersiapkan grand design.
Demikian disampaikan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Simalungun Ir Jhoni Siahaan kepada METRO SIANTAR (grup Sumut Pos) di ruang paripurna DPRD Simalungun, Kamis (28/1) kemarin.
“Grand design-nya dibuat pemerintah pusat. Jadi masih menunggu, karena tidak mungkin melakukan pembangunan tanpa ada master plan. Ini adalah program jangka panjang, mungkin untuk 10 tahun mendatang,” kata Jhoni.
Dia mengatakan, program pembangunan klaster berbasis industri pertanian merupakan jawaban atas ketertinggalan Indonesia di bidang industri hilir kelapa sawit. Sementara kenyataan, Indonesia termasuk salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia. Dan Sumatera Utara, termasuk Simalungun, adalah daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia.
Lebih jauh dia mengatakan, pemilihan Sei Mangke sudah melalui berbagai pertimbangan. Lokasi itu mudah diakses dari sisi transportasi baik darat, laut, dan udara. Selain itu, ketersediaan bahan baku di tempat itu juga cukup menjanjikan, karena PTPN III Sei Mangke memiliki lahan yang dapat mencukupi kebutuhan industri itu nantinya.
Ditanya soal pendanaan, Siahaan menjelaskan, sesuai rencana proyek itu akan menyedot anggaran sebesar Rp1,2 triliun. Dana berasal dari pemerintah pusat dan kemungkinan bekerja sama dengan PTPN III Sei Mangke. Namun tidak tertutup kemungkinanan adanya campur tangan investor.
Keuntungan Ganda
Siahaan berpendapat, pembangunan klaster itu paling tidak memiliki dua arti strategis, yakni mendorong laju pertanian sawit dan meningkatkan daya saing produksi. Kebiasaan ekspor minyak sawit mentah selama ini secara perlahan akan berubah menjadi ekspor bahan turunan. Bagi kabupaten Simalungun secara khusus, hal itu akan membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Otomatis, jika proyek itu terealisasi, akan tercipta lapangan kerja baru. Bahkan peluang usaha baru juga akan terbuka lebar. Dan ini adalah sebuah keuntungan bagi daerah kita,” tegas Jhoni, diamini Kabaghumasy Pim dan Protokoler Simesono Hia.
Anggota DPRD Simalungun Drs Johalim Purba mengatakan, pihaknya menyambut baik dan mendukung sepenuhnya rencana pembangunan klaster berbasis industri pertanian itu. Namun, perlu dilakukan penjajakan ke daerah-daerah lain di Simalungun yang berpotensi di bidang perkebunan kelapa Sawit. Penjajakan itu perlu untuk pertimbangan mendirikan Pabrik Kelapa Sawit mini di daerah-daerah tertentu.
“Raya Kahean dan Silau Kahean memiliki potensi kelapa sawit yang besar, namun produksi di daerah itu harus dibawa ke Tebing Tinggi atau Sergei karena tidak ada tempat pengolohan,” katanya.
Dari Jakarta dilaporkan, pemerintah tengah menyiapkan insentif bagi pengembangan industri hilir produk pertanian yang menjadi unggulan ekspor Indonesia. “Pemerintah akan memberi insentif bagi yang mengembangkan industri downstream (hilir), karena di samping meningkatkan value added tapi juga membuka lapangan kerja,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di sela-sela acara “Feed The World” di Jakarta, Kamis (28/1).
Hatta menyebutkan, delapan komoditas pertanian unggulan ekspor Indonesia yang berpotensi didorong pengembangan industri hilirnya di antaranya, sawit, karet, kopi, kakao, lada, ikan, kayu manis, dan rumput laut.
“Itu masuk lima besar dunia. Kalau kita berkonsentrasi, bisa memasok dunia,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan insentif tersebut akan diberikan khusus bagi komoditas tertentu. “Pengembangan industri hilir yang harus dikejar. Insentifnya sedang dirancang by products,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan kebijakan disinsentif terhadap ekspor produk mentah (bahan baku) yang seharusnya bisa didorong menjadi produk bernilai tambah lebih besar.
Ia mencontohkan, kebijakan Bea Keluar (BK) pada produk kelapa sawit. Ekspor Tandan Buah Sawit (TBS) dikenakan bea keluar 40 persen, tapi kalau diolah dan makin tinggi nilai tambahnya maka pungutannya makin rendah.
Selain produk kelapa sawit, pemerintah juga berencana mengenakan bea keluar untuk produk kakao dengan tujuan mendorong ekspor produk olahannya. Bea keluar kakao saat ini tengah dibahas di Tim Tarif Depkeu.
Acara seminar dan pameran Pasok Pangan Dunia (Feed the World) bikinan Kadin Indonesia sempat dinilai pesimis oleh banyak pihak. Itu karena boro-boro bisa memasok pangan dunia, untuk memenuhi pangan nasional saja, impor masih kentara dilakukan.
Menanggapi hal itu Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti justru membantah. “Pasok pangan dunia? Kenapa tidak?” ujarnya.
Menurutnya, yang justru menjadi faktor Indonesia tak bisa memasok pangan ke seluruh dunia karena larangan ekspor yang digembar-gemborkan media massa.
“Ekspor sedikit saja dipermasalahkan. Kalau di pangan, yang impornya paling besar itu terigu,” kata Bayu.
Impor terigu disebutnya menjadi penyumbang defisit terbesar di neraca perdagangan Indonesia, yakni mencapai 5 juta ton per tahun. “Jadi kurangi konsumsi terigu dong, kurangi makan mie instan,” ujarnya.
Untuk mengurangi ketergantungan pada terigu impor, dia menambahkan, pemerintah telah mengembangkan terigu alternatif, semisal dari umbi-umbian.
Umbi yang bisa didapatkan di dalam negeri bisa menjadi alternatif bahan baku pengganti gandum.
Tidak ada komentar:
Write komentar